AROMA sedap masakan yang tengah dibakar langsung menyergap indera penciuman ketika kami tiba di rumah makan ini, setelah menempuh perjalanan hampir 70 kilometer dari Jakarta. Aroma itu datang dari jejeran bungkusan daun pisang berisi pepes yang tengah dijilati lidah api dari kayu bakar yang membara.
Jenis masakan andalan di sini memang beragam jenis pepes. Ada pepes jambal yang tersohor, pepes ikan peda, pepes ikan mas, pepes tahu, pepes oncom, pepes jamur, pepes ayam, pepes teri, pepes ati empedal, dan yang terbaru adalah pepes remis.
Seperti yang selalu ditekankan pakar kuliner Indonesia, William Wongso, masakan yang mengesankan selalu dimulai dari kualitas bahan baku yang baik. Masakan enak bukan melulu soal bumbu yang meresap, begitu kata Pak William, yang juga jago masak itu.
Nah, di sinilah kekhasan masakan Sunda yang relatif minimalis dari segi bumbu. Seperti halnya juga masakan Jepang yang usui (ringan di bumbu). Kualitas bahan baku menjadi tuntutan yang tak boleh dibantah. Dan, inilah yang selalu bikin kangen dari masakan Sunda.
Pepes jambal, misalnya, dibikin dari ikan jambal yang didatangkan dari Jatiluhur dalam keadaan hidup. Bumbu-bumbu yang digunakan tak rumit, yakni lengkuas, kunyit, garam, jahe, cabai, bawang merah, dan daun kemangi.
Ketika bungkusan daun pisang dari pepes jambal itu disibakkan, tercium sedapnya aroma kemangi berkejaran dengan rempah-rempah lainnya. Cicipi dulu daging ikan jambal tanpa nasi, tanpa sambal. Tekstur daging yang terasa segar antara lembut dan kenyal.
Yang sangat mengesankan, aroma khas kayu bakar terjejak di langit-langit rongga mulut saat pepes ini meluncur ke kerongkongan. Sebab, hampir semua jenis pepes itu dimasak dengan cara dibakar sejak bahan baku mentah. Niscaya aroma semacam itu tak mungkin ditemukan dari pepes yang dibakar di atas arang, apalagi ”pepes modern” ala microwave!
Sambal uleknya rupanya cukup keterlaluan enaknya. Meski sambal ini digoreng, tak tampak minyak yang menggenang. Rasa pedasnya pun demokratis, tak sampai memonopoli rasa pepes.
Oh ya, jangan lupakan sayur asemnya. Sangat menyegarkan, dengan potongan nangka mengkal, jagung manis, dan dua-tiga potong pepaya muda (yang tampangnya mirip labu).
Dari Karawang, sayang rasanya kalau tak mampir di Restoran Sunda Alam Sari di Kota Bukit Indah, Dawuan, Cikampek. Meski andalannya masakan Sunda, rupanya juga tersedia dari spagetti hingga steak! Di buku menu, ada 120 macam masakan dan minuman yang ditawarkan.
Di Alam Sari, masakan yang khas adalah nasi kabeleum, yaitu nasi goreng yang dibakar. Nasi digoreng bersama ayam, bakso sapi, dan jagung pipilan, lalu dibungkus daun pisang dan dibakar. Unik dan mengesankan. Hidangan lain yang perlu dicoba adalah ulukuteuk leunca dan sup ikan gurame.
Ulukuteuk leunca merupakan leunca yang ditumis dengan oncom. Rasa oncomnya sangat istimewa. Yuli (30), salah seorang staf Alam Sari, menuturkan, sebelum leunca ditumis, oncom disangrai dahulu tanpa bumbu. Baru kemudian, bumbu ditumis, lalu dimasukkan leunca dan oncom sangrai tadi. Pantas saja, nuansa aroma sangit yang nikmat itu mengintip di sela-sela rasa gurih yang sopan.
Setelah tandas menyantap semua hidangan khas Sunda itu rasanya enggak ingin minum supaya jejak kenikmatannya tetap tertanam di lidah.
Berbahan organik
Itu tadi sajian makanan Sunda Walahar di Karawang yang berjarak sekitar 70 kilometer dari Jakarta atau hampir dua jam perjalanan dengan mobil pribadi. Bagaimana jika tak cukup punya waktu untuk pergi ke Karawang? Tak perlu khawatir. Di Jakarta juga banyak warung atau restoran yang menyediakan menu masakan Sunda.
Jika mau bersantap dalam suasana santai, bisa memilih Warung Daun dan Sambara. Aneka menu khas Sunda bisa ditemukan di kedua tempat tersebut, tetapi pada akhir pekan dan jam makan siang bersiaplah untuk menunggu giliran makan karena pengunjungnya bejibun.
Warung Daun tampak berbeda dalam menyajikan menu-menunya. Pasangan suami-istri Hariyanto Prayitno (51)-Aji Ledi Susanti, pemilik warung itu, sejak awal mendirikan Warung Daun di Jalan Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan, memilih memakai bahan-bahan organik untuk diolah berbagai masakan di restorannya. Masakan di warungnya juga bebas monosodium glutamat (MSG).
”Bisa disebut kami restoran tradisional pertama yang memakai bahan-bahan organik,” ujar Hariyanto yang asal Surabaya. Alasannya, dengan memilih bahan organik yang bebas pestisida, para tamu yang menyantap masakannya juga akan lebih sehat.
Pensiunan staf PT Pupuk Kaltim itu memulai usaha tahun 2003. Ia memilih pensiun dini sebab merasa minat membuka restoran lebih besar. Kebetulan pula Hari dan istrinya gemar makan. Jadilah keduanya berkeliling ke daerah-daerah untuk mencicipi macam-macam masakan.
Hobi tersebut membuat lelaki yang pandai memasak itu merancang gambar restoran dan memodifikasi menu yang ia jual. Berdirilah warung masakan Sunda dan daerah lainnya. Salah satu menu adalah baby fish goreng atau wader dalam bahasa Jawa yang renyah berat, plus sambal khas Warung Daun yang unik itu.