Selasa, 14 April 2009

Masakan "Berbau" Sunda yang Kontekstual

MASAKAN khas Sunda memiliki citra makanan yang sehat karena selalu ada unsur sayuran segar yang biasa disebut lalapan dalam penyajiannya. Ada sebuah pendapat yang tak lekang sampai sekarang, penyantap banyak buah dan sayuran segar akan memiliki badan sehat, kulit halus dan bersih.

Itu sebabnya, kecantikan mojang Priangan yang memang hidup di alam segar pegunungan sering dikaitkan dengan kebiasaan mereka yang antara lain mengonsumsi makanan Sunda, hmmm....

Bisa jadi karena khasiatnya tadi, ditambah cukup mudah membuat makanan khas Sunda, para pengusaha kuliner memilih membuka restoran makanan Sunda di luar daerah Priangan. Jangan heran jika melihat restoran atau warung penyaji masakan Sunda hari-hari ini bertebaran di Jakarta. Ada yang bergaya Sunda banget, mulai dari interior, cara penyajian, jenis dan rasa masakan, hingga musik yang diperdengarkan.

Belakangan, penyajian dan rasa makanan khas Sunda mulai bergeser mengikuti selera warga Ibu Kota yang datang dari berbagai kalangan dan asal daerah. Restoran makanan Sunda tampil berbeda, tak lagi kental walau di beberapa tempat di luar Jakarta seperti Rumah Makan Walahar Krawang tetap bertahan pada tradisi dan sejarah.

Modern, akrab, dan hangat

Lihat saja restoran Sambara dan Warung Daun, keduanya di Jakarta Selatan. Sentuhan interior modern akan terasa begitu memasuki Sambara.

Sementara kondisi Warung Daun berbeda. Hariyanto Prayitno, pemilik rumah makan itu, memilih suasana rumahan yang membuat pengunjung serasa datang ke rumah keluarga atau kerabat yang terasa hangat.

Kondisi restoran penyedia masakan Sunda di Jakarta itu berbeda dengan apa yang terjadi di Rumah Makan Walahar H Dirja yang dikelola keluarga besar Dirja. Ada suasana akrab di sana. Pengunjung bisa menjenguk dapur luas tempat pepes-pepes dibakar.

Dapur ini, meski serba tradisional, sangat tertata dan bersih. Oleh karena itu, sejumlah lalat-lalat yang kadang berseliweran lebih berperan sebagai figuran ketimbang pemeran utama di rumah makan ini.

Meski dikelola secara tradisional dan melibatkan anggota keluarga besar, konsistensi dan kualitas rasa masakan tetap dijaga. Ibu Dirja, istri Pak Dirja, hingga kini masih mencicipi setiap jenis pepes untuk memastikan konsistensi rasa itu.

Yang menyenangkan, jenis masakan pepes boleh dibilang siap saji sehingga tak perlu menunggu terlalu lama. Meski begitu, semua jenis pepes baru diolah di hari penyajian sehingga tetap segar. Pepes tetap hadir dengan hangat bersama nasi pulen hangat, yang berasnya berasal dari sawah Pak Dirja.

Bahan-bahan lain, seperti lengkuas, serai, daun salam, pepaya untuk bahan sayur asam, dan daun singkong untuk lalapan, semuanya tersedia di kebun di sekitar rumah makan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar